JIKA RAMADHAN TAK PERNAH ADA
Masih terngiang lamat-lamat takbir dikumandangkan di malam 1 Syawal, pada detik-detik akhir Ramadhan yang penuh berkah, ketika bulan yang begitu dirindukan itu tanpa bisa ditolak, pergi meninggalkan kita.
Terasa sekali jiwa ketaqwaan yang masih rapuh, saat Ramadhan pergi.
Sadar ternyata banyak sekali kesempatan terlewatkan tanpa pencerahan.
Sadar masih terlalu sedikit amalan kebajikan yang sempat kita tunaikan.
Sadar bahwa selama Ramadhan kita belum banyak berbuat kemaslahatan.
Ada keinginan dan kerinduan agar Ramadhan tetap menjadi hari-hari yang panjang.
Syawal, Idul fitri, memang menggembirakan, hari kemenangan. Meski ada keraguan adakah ketaqwaan telah merasuk dalam jiwa.
Yang diinginkan adalah nuansa Ramadhan yang teduh dan menyimpan energi penyemangat yang unik dan akan tetap dirasakan di bulan-bulan mendatang. Agar bekal yang telah dihimpun selama Ramadhan bisa tetap terjaga tak ternoda hingga kelak bertemu kembali dengan hari-hari mulia itu, atau terlebih dahulu kembali menghadap Sang Pemilik bulan barokah itu sebelum hilal Ramadhan menggaris kembali di kaki langit dunia, di tahun mendatang.
Alhamdulillah, kita masih diberi kesempatan olehNya memandang hilal Ramadhan tahun ini kembali mengias langit.
Kita masih diberi waktu, tak lain hanyalah saat yang sangat singkat dan setelah itu usai.
Dan, ketika perpisahan menjelma, ketika Ramadhan pergi. kerinduan pun merasuk ke setiap celah jiwa. Tak henti mengingat saat-saat bahagia dalam kebersamaan, sesaat sebelum waktu memisahkan.
Dan kerinduan itu memberi kekuatan yang khas, harapan kuat untuk bisa berjumpa dengan Ramadhan kembali, sebelum terlalu jauh waktu memisahkan jiwa dari Ramadhan, nuansa ruhiyah masih betah dalam lingkaran pengaruhnya. Shalat, shaum, tadarus, dan amalan yang lainnya masih mudah dijaga dan terpelihara. Sampai ketika waktu semakin jauh menyeret jiwa yang belum utuh dalam taqwa, direcoki oleh berbagai hiruk-pikuk kesibukan dunia, kerinduan akan nuansa teduh Ramadhan mulai menguap. Lupa. Meski tetap ada tetapi tak nampak di pelataran jiwa, namun tersembunyi di pojok jiwa yang malah sering terlupakan.
Sejak awal Ramadhan masjid-masjid penuh, di malam hari saat shalat tarawih, bahkan di waktu subuh. Di waktu-waktu shalat lainnya, seperti dzuhur dan ashar, masjid pun dipenuhi orang yang singgah untuk shalat kemudian melepaskan penat dan lelah usai bekerja. Sebagian tampak serius mendengarkan ceramah atau kultum selepas zhuhur, sesudah itu di hampir tempat di ruangan masjid terdengar orang-orang bertadarus. beri’tikaf.
Adakah suasana seperti itu bisa kita temui di bulan lain selain bulan Ramadhan?
Jika Allah tak menciptakan bulan Ramadhan untuk kehidupan kita, mungkinkah masjid dipenuhi jamaah setiap hari, setiap siang, setiap sore, di setiap malam dan di waktu subuh?
Mungkinkah kita masih ingin beri’tikaf di dalamnya meskipun bukan di bulan Ramadhan?
Di banyak tempat, hampir setiap saat bisa kita saksikan orang-orang, muda dan tua, khusyuk memegang mushaf Al Qur’an. Seolah menjadi bacaan wajib yang tak boleh tertinggal untuk menghiasi hari dengan lantunan ayat suci, tak peduli di mana mereka berada. Di dalam bis, gerbong kereta, dalam kelas, kampus, di kantor, bahkan dalam kendaraan pribadi pun diperdengarkan suara yang semakin mendekatkan kita kepada Allah.
Andaikata hari-hari itu bukan hari-hari di bulan Ramadhan, adakah orang-orang menjadikan Al Qur’an sebagai bacaan wajibnya di setiap hari, bahkan setiap usai shalat lima waktu sebanyak dilakukannya di bulan Ramadhan?
Orang-orang berlomba memperbanyak sedekah, infaq dan zakat seolah-olah esok hari mereka akan mati, sehingga merasa perlu mengumpulkan bekal amal kebajikan untuk menghadap Allah.
Jika Allah tak menjanjikan ganjaran berlipat ganda untuk setiap amal shaleh, infaq dan sedekah yang dilakukan di bulan Ramadhan, mungkinkah masih ada semangat kita untuk beramal shaleh, sebesar sedekah yang kita beri di saat Ramadhan?
Di waktu menjelang maghrib, para tetangga saling hantar penganan berbuka. Masjid-masjid membuka pintu lebar-lebar, kemudian mengundang fakir miskin dan orang-orang dalam perjalanan, para musafir, untuk berbuka puasa bersama, ifthor, menikmati penganan yang lezat-lezat. Begitu adzan berkumandang, keceriaan begitu jelas terlihat meski hanya secangkir teh hangat manis dan tiga butir buah kurma di tangan mereka.
Jika tak pernah ada yang menjelaskan bahwasanya pahala memberi makanan berbuka bagi orang berpuasa sama dengan pahala berpuasa itu sendiri, akankah tetap tersedia makanan berbuka di berbagai masjid, terutama bagi kaum musafir atau fakir miskin?
Adakah saling hantar makanan oleh orang-orang bertetangga?
Sejuk, nyaman, aman dan indah. Inilah suasana yang tercipta dan kita rasakan selama Ramadhan. Semua orang tak terkecuali, di hadapan kita begitu mempesona, dan yang kita jumpai pun tampak baik, sabar, santun, ramah, penuh senyum, serta menahan amarah mereka. “Jangan marah, kan sedang berpuasa,” begitu nasihat yang sering kita dengar saat amarah memuncak, lalu redalah hati ini. Senyum persaudaraan senantiasa kita dapatkan di mana pun kita berada.
Akankah hari-hari penuh kesejukan seperti itu yang tetap bisa kita rasakan seandainya Ramadhan tak pernah ada?
Kepedulian terhadap sesama begitu tinggi di bulan Ramadhan, mungkin pengaruh perut lapar kita yang ikut merasakan betapa banyak orang-orang yang tetap “berpuasa” meski bukan di bulan Ramadhan. Saling berbagi, memberi dan empati amat ringan tercipta dari hati, dan tangan kita.
Tetapi masih adakah kepedulian kita di bulan lain, selain bulan Ramadhan?
Masih adakah yang akan terus kita bagi kepada kaum tak punya, meski tak lagi di bulan Ramadhan?
Jika Ramadhan tak pernah ada, masihkah kita jumpai kebaikan, kepedulian, dan kesejukan dalam kehidupan sehari-hari?
Akankah semua kenikmatan itu laksana buah kurma, yang muncul secara khusus hanya di bulan Ramadhan saja. Kemudian hilang entah ke mana sehari setelah hari raya, sehari setelah kita saling bermaafan, sehari setelah kita merayakan hari kemenangan.
Seperti itukah perilaku kita??? Amal kebajikan lenyap seiring perginya Ramadhan??
Jika Ramadhan tak pernah ada.
Jika Allah tak menjanjikan balasan pahala berlipat ganda di bulan Ramadhan, apakah kita masih mau memperbanyak amal shaleh, shalat, puasa sunah, tadarus, i’tikaf, qiyamul lail, zakat, infaq, atau sedekah.
Dalam skala besar, senada dengan kalimat-kalimat tanya tersebut. Saya pernah menemukan suatu kalimat yang membuat saya terpuruk dan menangis:
“Andaikan Allah tidak menjanjikan pahala surga bagi kita, apakah kita masih mau bersujud kepada Allah ???
Kita masih beruntung, ternyata Allah sangat sayang kepada kita, karena Allah menghadirkan Ramadhan untuk hambaNya.
Akan tetapi akan lebih sangat beruntunglah kita, jika kita mampu menghadirkan nuansa Ramadhan itu di lain bulan selain di bulan Ramadhan.
Mari kita beri’tikaf,
mari kita bertadarus,
mari kita berdzikir,
mari kita dirikan qiyamul lail, shalat di penghujung malam,
mari kita perbanyak amalan puasa sunnah,
mari kita bersedekah. Mari kita ajak kaum tak punya untuk dapat bergembira.
Mari kita sayangi makhluk-makhluk penghuni bumi ini, agar Penghuni Langit menyayangi kita.
Ya Allah. Saya bersujud dan menangis di hadapanMu.
Ya Allah, Jika Ramadhan sebagai waktu yang paling mulia untuk berdoa,
maka, aku mohon jadikanlah seluruh waktu adalah ramadhan bagiku, ijinkanlah aku, di setiap waktu itu doaku Engkau kabulkan.
Dan jika ibadah shaum sebagai bagian kesempurnaan seluruh ibadahku, maka ijinkanlah aku mendapatkan kesempurnaan ibadah shaum di waktu kapanpun aku melaksanakannya.
………………
Ketika ramadhan di ujung pandangan.
kudekati lalu kusapa diia, hendak kemana?
dengan lembut ia berkata: Aku harus pergi, jauh sekali dan sangat lama………….
Sampaikan pesanku untuk para mukmin, Syawal tiba,
ajaklah sabar dan syukur temani hari-harimu,
peluklah istiqomah saat kelelahan perjalananmu menggapai taqwa,
bersandarlah pada tawadhu saat kesombongan menyerang,
mintalah nasihat pada Al Qur’an dan Al Hadits di setiap masalah yang engkau dihadapi.
Sampaikan juga salam dan terimakasihku kepada siapa saja telah menyambutku dengan suka cita-cita.
Katakan padanya, kelak aku akan menyambutnya di surga melalui pintu Ar Rayyan.
Selamat tinggal, mohonlah pada Rabbmu, agar Dia pertemukan dirimu dan aku di tahun depan. k.toyib darmowiyoto
Diriku Dalam Tuhan
Ku cari diriku dalam gelap
Yang ku dapat hanyalah pekat
Ku cari diriku dalam terang
Yang ku raih hanya silau
Ku cari diriku dalam malam
Yang ku temukan hanya kesepian
Ku cari diriku dalam siang
Yang ada hanya kebisingan
Ku cari diriku di bumi
Di lautan
Di langit
Di hujan
Di goa
Di hutan
Ku cari diriku di sela tangis-tangis manusia
Ku cari diriku di balik gelak dan tawa
Ku cari di antara suka dan duka
Ku cari diriku di mana-mana
Dan ku temukan dalam diri Tuhan
Izinkan Hamba Berubah
Ya Allah.....
Ampuni hambaMU yang tak berdaya ini
Yang selalu turuti hawa nafsu
Ada sedikit pengetahuan tertanam, memang
Tapi segunung ajakan kiri selalu menghantu
Ya Allah...
Hamba ingin jadi hambaMu sejati
Tapi mengapa.....?
Mengapa ruh kekuatan belum juga tiba
Mengapa diri ini masih yang dulu
Yang tak berkembang.......yang tak beranjak
Yang tak melaju menjemput masa depan
Mengapa diri ini masih berdiam diri
Takluk dalam genggam birahi...?
Ya Allah......
Sirami kepadanya cahaya kekuatanMU
Untuk mengusir bisikan-bisikan palsu
Menepis pikiran-pikiran tanpa etika
Biarkan ia menjadi lebih baik
Biarkan ia berbenah diri
Berikan padanya kesadaran, sebenar-benarnya kesadaran
Ya Allah....
Hanya ridhoMu yang abadi
Abadi dan sejati
Ya …Allah
Saksikan dan dukunglah
Niat hamba yang tak berdaya ini
untuk berubah dan memperbaiki diri
Hamba memang sering ingkar janji
Maka hamba minta..
MaafMu terbuka tiap waktu
Jumat, 05 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar