Senin, 25 Mei 2009

NAMA :LIZA ANGGRAINI

KELAS :XI IPA 1, SMA PINTAR

GB :RONALDO ROZALINO, S.sn

1. TARI MELAYU NUSANTARA

Dari berbagai-bagai pelosok dunia Melayu dalam linkungan lautan dan kepulauan di Selat Melaka, Selat Karimata, Selat Makassar, Laut Cina Selatan, Laut Sulu, Laut Sulawesi dan Laut Jawa, telah dikumpulkan sejumlah dua puluh satu buah makalah mengenai Zapin dan seni yang berkaitan dengannya di dalam sebuah penerbitan yang digelar sebagai Zapin Melayu di Nusantara.

Kesemua karangan yang dimuatkan ke dalam naskah ini pada amnya membicarakan kesenian Zapin Melayu dari empat sudut pendekatan yakni dari sudut imej dan identiti, unsur falsafah di dalam kesenian Zapin, ulasan dari sudut struktur persembahan dan mengenai diaspora Zapin Melayu di Nusantara. Setiap karangan yang telah dihasilkan oleh pakar-pakar tari, muzik, sejarah, sastera, falsafah dan sahsiah kesenian Zapin Melayu merupakan kupasan dan nukilan yang cukup bermakna bagi peminat dan pengemar Zapin Melayu di Nusantara pada amnya dan di Negeri Johor Darul Takzim pada khususnya.

Penulisan-penulisan tersebut bukan sahaja cuba mendedahkan rahsia dan cerita mengenai Zapin Melayu secara etnografik, saintifik dan holistik, tetapi lebih jauh dari itu, ianya juga merupakan usaha penceritaan yang bersifat emic dan etnosentrik. Pada umumnya makalah-makalah tersebut memperakui bahawa kesenian Zapin Melayu di Nusantara telah dicipta oleh genius-genius Melayu melalui arus dan deruan pengaruh dari luar dunia Melayu tetapi telah berbaur dan bersebati sebagai kesenian sinkretik Arab-Melayu-Islam.

Kandungan

Bahagian I
IMEJ DAN IDENTITI

Zapin Melayu di Negeri Johor Darul Takzim: Penyambung Warisan Budaya Melayu di Nusantara
Ucap Utama oleh YAB Dato Haji Abdul Ghani Othman, Menteri Besar Johor, di Festival Zapin Nusantara 1998

Zapin di Istana Kerajaan Pelalawan
Tenas Effendy

Tari Zapin Nusantara: Sejarah Perkembangannya di Palembang
Djohan Hanafiah

Zapin-Gambus di Wilayah Kabupaten Deli-Serdang, Sumatera Utara
Tengku Luckman Sinar, SH (Tengku Pangeran Temenggong Mangkunegara)

Dana: Tari Pergaulan Bernafaskan Islam di Jambi
Tom Ibnur

Bahagian II
FALSAFAH KESENIAN

Falsafah Kesenian Islam dalam Zapin Melayu: Leksikon dan Ikonografi Handasah Al-Sawt di Alam Melayu
Mohd Anis Md Nor

Falsafah Zafin Melayu Riau Pulau Penyengat di Kepulauan Riau
Raja Hamzah Yunus

Falasafah Tari Jepin Kalimantan Barat
H. Munawar Kalahari

Falsafah Persembahan dalam Zapin Riau
H. Said Mahmud Umar

Bahagian III
STRUKTUR PERSEMBAHAN

Dasar Langkah Tari Zapin Riau dan Sekelumit Pengembangannya
Tengku Rahimah Daud

Zapin Asli Siak Sri Indrapura
Zulkifli ZA

Tarian Zapin di Sarawak
Sharkawi Haji Amit

Tari Jepin Kalimantan Barat
A. Muin Ikram

Zapin Riau: Tinjauan Koreografi dan Ensembel Perkusi
Said Parman

Struktur Rentak dan Melodi Zapin Sumatera Utara
Fadlin Ja'far

Muzik Zapin: Pendekatan Sebuah Komposisi
S. Berrein

Muzik Pengiring Tari Dana: Tautannya dengan Perkembangan Muzik Tradisional Jambi
Zurhatmi Ismail

Bahagian IV
DIASPORA DI NUSANTARA

Tari Zapin dan Perkembangannya di Deli Serdang
H. Jose Rizal Firdaus

Sejarah Tari Zapin dan Perkembangannya di Kerajaan Siak Sri Indrapura
H.O.K.Nizami Jamil

Sejarah Perkembangan Tari Dana di Propinsi Jambi
Ja'far Rassuh

Seni Tari Zapin: Tinjauan Sejarah dan Perkembangan Pasang Surutnya di Kalimantan Barat
H. Mawardi Rivai

BIBLIOGRAFI

2. TARI JAIPONG

Suatu kehidupan dalam dunia seni adalah apresiasi. Apresiasi bisa dalam bentuk memainkan ulang nyanyian, menggubahnya atau sekadar bersenandung, atau juga dalam lingkungan tertentu menjadi penyumbang lagu, yaitu membuat sumbang sebuah lagu. Penikmat layar lebar menuliskan review-nya, atau sekadar mengompori rekan-rekannya untuk ikut menonton. Para kutu buku mengutip dan menelaah ide si penulis. Dalam dunia grafis, paduan warna atau komposisi ditiru-tiru. Yang tersulit adalah mengapresiasi seni tari. Saya tak pandai menari sebab lantai akan terjungkat seketika, dan malahan menjadi akting ayan.

“Gawe atuh, sasapu, kukumbah atawa beberes!”
“Alim ah, laleuleus.”
“Ngibing atuh?”
“Henteu ah, hareuras.”

Tahun 1980-an, Gugum Gumbira sukses mengangkat sebuah tarian yang disebut Jaipong atau Jaipongan. Jaipong dikembangkan sebagai jawaban atas dilarangnya musik Rock & Roll oleh presiden Sukarno di tahun 1960-an. Selama belasan tahun sang koreografer Gugum Gumbira mengadaptasi seni tari Ketuk Tilu dan Bajidoran yang terkenal sebagai tarian rakyat sebagai gaya kaleran atau northern style alias tarian pesisir utara Jawa Barat (Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang dan Indramayu). Ketuk Tilu sendiri berasal dari tarian ronggeng dan tayub. Ronggeng adalah perempuan penari dan tayub adalah penonton yang aktif turun ikut menari bersama ronggeng.

Di setiap acara panggung tujuh belasan di tahun 1980-an tersebut, jaipongan Daun Pulus Keser Bojong yang diperkenalkan oleh grup orkestra dan tari, Jugala, menjadi primadona hiburan yang selalu ada. Sebuah tarian yang dipersembahkan oleh seorang mojang dan seorang bujang yang memadukan gerakan, lembut, cepat, patah-patah, aerobik hingga sedikit erotik. Juga kental dengan unsur gerakan Pencak Silat. Iringan musiknya sendiri merupakan gamelan yang lebih sederhana daripada gamelan lengkap pada Wayang Golek atau Degung, dan diiringi nyanyian seorang Sinden.

Tahun 1990-an saya tak ingat pernah lagi menonton tari Jaipong ini. Mungkin tersisihkan oleh dunia musik metal, hiburan film dan kesibukan lainnya. Juga di acara tujuh belasan jarang lagi saya temui tarian ini. Lebih banyak band musik modern, pantomim, tarian western modern atau kabaret.

Hari Sabtu lalu, sesampainya di stasiun Bandung, saya menyempatkan diri menikmati baso Mang Jai di Cikudapateuh pinggir rel kereta api yang sekarang rupanya sudah di-upgrade menjadi baso Haji Jai. Eh, kok bicara makanan. Selepas makan baso yang enak tersebut saya mengubek-ngubek harian Pikiran Rakyat, mencari-cari peristiwa, pentas atau apapun yang layak dikunjungi. Dirasa tak menemukan yang cocok akhirnya menyempatkan diri ke Taman Budaya Jawa Barat di Dago, yang terkenal juga disebut sebagai Dago Tea House, hanya untuk makan malam.

Ternyata, eh ternyata, Taman Budaya sedang menggelar pentas yang dipersembahkan oleh murid-murid sekolah seni. Penonton cukup banyak di bangku terbuka, termasuk di lantai atas yang berfungsi sebagai tempat makan. Nasi tutug oncom kunikmati sambil melihat anak-anak balita unjuk kabisa memainkan piano keyboard dan bernyanyi.

Pentas kemudian dilanjutkan dengan tarian dan kabaret anak-anak SD. Cukup lucu untuk membuat tertawa, sebab mereka sudah bermental berani unjuk kabisa di atas panggung. Salah benar, serius atau tidak, jelek atau buruk menjadi hal yang tak penting.

Penampilan berikutnya masuk ke kelas remaja. Jauh lebih serius dan lebih indah. Dibuka dengan tari jaipong Tablo oleh dua orang remaja putri (SMP). Saya tak tahu sejak kapan jaipong Tablo ini mulai terkenal. Tablo sendiri artinya adalah meratapi kematian.

Jaipong Tablo Jaipong Tablo
Jaipong Tablo Jaipong Tablo

Jaipong Maung Lugay melanjuti acara pentas kemudian, juga dibawakan oleh dua remaja putri (SMA). Gerakan jaipong ini cukup dinamis, mengalir lentur dan kadang menghentak seperti gerakan macan alias maung.

Jaipong Maung Lugay Jaipong Maung Lugay

Sebelum pentas ditutup dengan opera monolog dan ngibing rampak Pencak Silat, panggung pentas mempersembahkan tarian yang terkenal di masyarakat Sunda, yaitu Tari Merak. Sebuah tarian yang indah tentang burung merak, meski saya bukan penggemar pedasnya cabe.

Tari Merak Tari Merak
Tari Merak Tari Merak

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2011 Liza Anggraini. Designed by Cute Templates Blogger.
Thanks to: Link 1, Link 2, Link 3.